Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19
Aspek Logo Halal Dalam Produk Makanan
BAB I PENDAHULUAN
Konsumen kini disuguhi banyak pilihan
produk. Salah satunya adalah produk pangan dalam kemasan. Sejumlah langkah bisa
ditempuh konsumen saat mempertimbangkan untuk mengonsumsi sebuah produk dalam
kemasan. Langkah itu, misalnya, dengan memperhatikan label produk kemasan. Ini
untuk memastikan kelayakan produk dan status kehalalannya.
Berdasarkan peraturan yang berlaku,
label halal yang dicantumkan dalam suatu produk pangan dalam kemasan harus
didasarkan atas sertifikat halal. Pencantuman itu dapat dilakukan setelah
produk mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia.
Harus diakui kepatuhan pengusaha soal
pelabelan ini masih harus terus didorong. Data dari pemerintah, jelas dia,
sebanyak 54 persen label halal tak memenuhi ketentuan. “Produk itu tak memiliki
sertifikat halal dari LPPOM MUI".
BAB II PEMBAHASAN
Sertifikasi Kehalalan
Sebagai
lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya
memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan. Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil
dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label
halaldalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.
Syarat
kehalalan produk tersebut meliputi:
1. Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal dari babi
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang
diharamkan seperti; bahan yang berasal dari organ manusia, darah,
dan kotoran-kotoran.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan yang
disembelih dengan syariat Islam.
4. Semua tempat penyimpanan tempat penjualan
pengolahan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika
pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih
dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap
produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya harus melampirkan
spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku ,
bahan tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan itu bisa dari MUI daerah
(produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui oleh MUI (produk impor) untuk
bahan yang berasal dari hewan dan turunannya.
Setelah itu,
tim auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan dan audit ke lokasi produsen yang
bersangkutan serta penelitian dalam laboratorium yang hasilnya dievaluasi oleh
rapat tenaga ahli LPPOM MUI yang terdiri dari ahli gizi, biokimia, pangan,
teknologi pangan, teknik pemrosesan, dan bidang lain yang berkait. Bila
memenuhi persyaratan, laporan akan diajukan kepada sidang Komisi Fatwa MUI
untuk memutuskan kehalalan produk tersebut.
Tidak semua
laporan yang diberikan LPPOM MUI langsung disepakati oleh Komisi Fatwa MUI.
Terkadang, terjadi penolakan karena dianggap belum memenuhi persyaratan. Dalam
kerjanya bisa dianalogikan bahwa LPPOM MUI adalah jaksa yang membawa kasus ke pengadilan dan
MUI adalah hakim yang memutuskan keputusan hukumnya.
Sertifikat
halal berlaku selama dua tahun, sedangkan untuk daging yang diekspor sertifikat
diberikan pada setiap pengapalan. Dalam rentang waktu tersebut, produsen harus
bisa menjamin kehalalan produknya. Proses penjaminannya dengan cara
pengangkatan Auditor Halal Internal untuk memeriksa dan mengevaluasi Sistem
Jaminan Halal (Halal Assurance System) di dalam perusahaan. Auditor
Halal tersebut disyaratkan harus beragama Islam dan berasal dari bagian terkait
dengan produksi halal. Hasil audit oleh auditor ini dilaporkan kepada LPPOM MUI
secara periodik (enam bulan sekali) dan bila diperlukan LPPOM MUI melakukan
inspeksi mendadak dengan membawa surat
tugas.
BAB III PENUTUP
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam,
jaminan kehalalan dalam suatu produk sangatlah penting. Oleh karena itu, sudah
semestinya jika Pemerintah memberikan naungan hukum bagi konsumen agar
produk-produk yang dikonsumsi terjamin kehalalannya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar