Senin, 07 Mei 2012

Sejarah Hukum di Indonesia


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19




Sejarah Hukum di Indonesia



BAB BAB I PENDAHULUAN

Dalam hubungan Hukum dan Negara, baik hukum maupun negara  muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib. Sehubungan dengan hal itu mengingat tujuan negara adalah menjaga dan memelihara tata tertib.

Di Negara Indonesia seperti kita ketahui bahwa tata hukum di Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia (Ius Constitutum), berlaku disini berarti yang memberikan akibat hukum pada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup, sedangkan sekarang adalah menunjukkan kepada pergaulan hidup yang ada pada saat ini dan bukan pergaulan hidup masa
lampau, di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat pada Republik Indonesia dan bukan negara lain. Tata hukum disebut juga Hukum Positif atau  Ius Constitutum, sedang hukum yang dicita-citakan adalah Ius constituendum.



BAB II PEMBAHASAN

Sejarah Tata Hukum Indonesia

Seperti diketahui, bahwa di Indonesia terdapat beraneka ragam peraturan perundang-udangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia sejak Proklamasi 17 Agusus 1945. Disamping peraturan tersebut juga terdapat peraturan-peraturan zaman penjajahan Hindia Belanda dan bala tentara jepang yang masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dalam pembahasan Tata
Hukum Indonesia tidaklah dapat lepas dari pembahasan sejarah Perkembngan Tata Hukum Indonesia sejak kekuasaan  Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Penjajahan Hindia Belanda sampai dengan Penjajahan balatentara Jepang. Berikut ini dibahas secara singkat sejarah perkembangan Tata Hukum Indonesia.

a. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
VOC yang didirikan oleh para pedagang orang Belanda tahun 1602 maksudnya supaya tidak terjadi persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang pribumi dengan tujuan untuk mendapat keuntungan yang besar di pasaran Eropa. Sebagai kompeni
dagang oleh pemerintahan Belanda diberikan hak-hak istimewa (octrooi) seperi hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang,  mengadakan perdamain dan hak mencetak uang.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di belanda memberikan wewenang kepada Gebernur Jederal Piere Bith untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasainya,
disamping ia dapat memutuskan perkara perdata dan pidana. Peraturanperaturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui “plakat”. Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis dan diumumkan dengan nama “Statuta van Batavia” (statuta batavia) dan pada
tahun 1766 diperbaharui dengan nama “Niewe Bataviase Statuten” (statuta Batavia Baru). Peraturan statuta ini berlaku diseluruh daerah-daerah kekuasaan VOC berdampigan berlakunya dengan aturan-aturan hukum lainnya sebagai satu sistem hukum  sendiri dari orang-orang Pribumi dan Orang-Orang pendatang dari luar.

b. Penjajahan Pemerintahan Belanda 1800-1942
Sejak berakhirnya kekuasaan VOC pada tanggal 31 Desember 1977 dan dimulainya Pemerintahan Hindia Belanda pada Tanggal 1 Januari 1800, hingga masuk pemerintahan jepang, banyak peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Yang menjadi pokok peraturan pada zaman Hindia belanda adalah:

1) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B)
Peraturan ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 termuat dalam Stb
1847 No. 23. Dalam masa berlakunya AB terdapat beberapa peraturan
lain yang juga diberlakukan antara lain:
a) Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi Pengadilan.
b) Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/Perdata (KUHS/KUHP)
c) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
d) Reglement op de Burgerlijke Rechhtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata.

Semua peraturan itu diundangkan berlaku di Hindia Belnda sejak tanggal 1 Mei 1845 melalui Stb 1847 No. 23.

2) Regering Reglement (R.R.), diundangkan pada tanggal 2 September 1854, yang termuat dalam Stb 1854 No. 2. Dalam masa berlakunya R.R. selain tetap memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada juga memberlakukan Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3) Indische Staatsregeling (I.S.), atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pengganti dari R.R Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Janiari 1926.

c. Penjajahan Tentara Jepang
Peraturan pemerintahan Jepang adalah Undang-Undang No.1 tahun 1942 (Osamu Sirei)  yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan perundang-undangan  Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan Jepang.




BAB III PENUTUP

Hukum sebagai Ilmu pengetahuan memiliki bidang hukum  yang  sangat luas atau lingkup dan aspek hukum sangatlah luas oleh karena itu dalam kegiatan ilmiah diusahakan untuk mengadakan pembedaan atau klasifikasi  hukum. Di dalam perkembangan ilmu hukum, pembidangan hukum tergantung sudut yang mana hukum yang berlaku hendak dipelajari.





Sumber:


Pengakuan Hukum Atas Hak Kebendaan Atau Hak Milik


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19




Pengakuan Hukum Atas Hak Kebendaan Atau Hak Milik



BAB BAB I PENDAHULUAN

Menurut pengertian umum hak adalah "Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara' untuk mendapatkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum." Pengertian hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul yaitu: "Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta."

Milik dalam buku Pukok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, di definisikan: "Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara' untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar'i"



BAB II PEMBAHASAN

HAK KEBENDAAN

Hak kebendaan : suatu hak absolute, hak yang melekat pada suatu benda,memberikan kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh setiap orang.

Ciri – ciri hak kebendaan :

1. Bersifat absolut à dapat dipertahankan terhadap tuntutan setiap orang
2. Droit de suite : suatu hak yang terus mengikuti pemilik benda, atau hak yang mengikat bendanya di tangan siapa pun
3. Droit de preference : hak yang didahulukan atau diutamakan. 

Jika pemegang hak kebendaan PAILIT hak kebendaan lain yang melekat di atasnya dapat dipertahankan dari kepailitan artinya hak kebendaan lain tersebut dapat dituntut seratus persen karena tidak dipengaruhi oleh kepailitan.

Kalau hak perorangan, jika terjadi PAILIT maka para pemegang hak perorangan harus puas menerima, jika ada, sebagian dari tagihannya seimbang dengan besarnya hak masing – masing.

kalau terjadi benturan antara hak kebendaan dengan hak perorangan, maka hak kebendaan yang didahulukan tanpa memperhatikan apakah ada hak kebendaan tersebut terjadi lebih dulu atau sesudah terjadinya hak perorangan.

1. Hak menuntut kebendaan : Hak menuntut/menggugat pengembalian haknya dalam keadaan semula (Pasal 574 KUHPer)
2. Hak sepenuhnya untuk memindahkan 

Perbedaan Hak Kebendaan dengan Hak Perorangan

1. Sifatnya

-Hak kebendaan : absolut

-Hak perorangan : relatif, hanya dapat dipertahankan terhadap tuntutan orang tertentu yaitu pihak lawannya dalam suatu perjanjian

2. Hubungan hukum

-Hak kebendaan : secara langsung, antara seseorang dengan benda

-Hak perorangan : antara 2 pihak atau lebih berkaitan dengan suatu benda atau suatu hal tertentu

3. Prioritas

-Hak kebendaan : sifatnya diutamakan atau didahulukan

-Hak perorangan : asas kesamaan/keseimbangan, yang lebih dulu atau lebih baru, sama saja, tidak mempedulikan urutan terjadinya

4. Hal tuntutan/gugatan

-Hak kebendaan : gugat kebendaan, dilakukan terhadap siapa saja yang mengganggu haknya

-Hak perorangan : gugat perorangan, hanya dapat dilakukan terhadap pihak lawannya

5. Hal hak pemindahan

-Hak kebendaan : dapat dilakukan sepenuhnya

-Hak perorangan : hak pemindahan terbatas

6. Asas perlindungan

-Hak kebendaan : dikenal asas perlindungan (pasal 1977 ayat 1 KUHPer)

-Hak perorangan : tidak dikenal

*Asas perlindungan : seseorang yang secara jujur menguasai benda – benda bergerak dilindugi




BAB III PENUTUP

Hak Milik adalah hak terkuat dan  terpenuh, tetapi di atas itu ada hak pemerintah untuk mempergunakan tanah demi kepentingan umum dan pemilik hak milik di berikann ganti rugi.




Sumber:



Analisis Perusahaan-Perusahaan Yang Melanggar Aspek Hukum


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19






Analisis Perusahaan-Perusahaan Yang Melanggar Aspek Hukum



BAB BAB I PENDAHULUAN


Etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Etika tidak mendasarkan norma atau prinsipnya pada kenyataan factual yang terus berulang. Menurut Hume: dari kenyataan yang ada (is) tidak bisa ditarik sebuah perintah normative (ought) contoh: sogok, suap, kolusi, monopoli, nepotisme. Berbagai aksi protes yang mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis menunjukkan bahwa bisnis harus dijalankan secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma moral.

BAB II PEMBAHASAN

Keutamaan Etika bisnis
1.Dalam bisnis modern, para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang profesional dibidangnya. Perusahaan yang unggul bukan hanya memiliki kinerja dalam bisnis, manajerial dan financial yang baik akan tetapi juga kinerja etis dan etos bisnis yang baik.
2.Dalam persaingan bisnis yangsangat ketat, maka konsumen benar-benar raja. Kepercayaan konsumen dijaga dengan memperlihatkan citra bisnis yang baik dan etis.
3.Dalam system pasar terbuka dengan peran pemerintah yang menjamin kepentingan dan hak bagi semua pihak, maka perusahaan harus menjalankan bisnisnya dengan baik dan etis.

4.Perusahaan modern sangat menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang harus dieksploitasi demi mendapat keuntungan. Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale: “perlakuan yang baik terhadap karyawan telah menaikkan keuntungan perusahaan sebesar 20% atau telah menurunkan harga produk perusahaan tersebut sebesa 20%.

Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis
1.Etika bisnis bertujuan untuk menghimbau pelaku bisnis agar menjalankan bisnisnya secara baik dane tis
2.Untuk menyadarkan masyarakat khususnya konsumen, buruh atau karyawan dan masyarakat luas akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga
3.Etika bisnis juga berbicara mengenai system ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis.


BAB III PENUTUP

Dalam berbisnis hendaknya para pengusaha juga memperhatikan segi etika dan moral. Untuk itu diperlukan kepastian hukum untuk melindungi konsumen dari praktek-praktek bisnis yang melanggar kode etik.



Sumber:

Siapa Yang Menentukan Kehalalan?


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19




Siapa Yang Menentukan Kehalalan?


BAB BAB I PENDAHULUAN


Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujiansecara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halalapabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, tujuan akhir darisertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.[3] Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.


BAB II PEMBAHASAN

PPOM MUI bertugas untuk menganalisa dan menjamin bahwa suatu produk dijamin kehalalalnya selama proses produksinya berlangsung. Proses ini lah yang dibawa LPPOM MUI untuk dimintakan pendapat kehalalalanya pada MUI.  Sistem JPH LPPOM MUI merupakan sistem sertifikasi halal yang paling baik di dunia. Mengenai diakui atau tidaknya, tidak semua negara mengakuinya, tetapi pada dasarnya sertifikasi LPPOM MUI ini memiliki jumlah negara yang paling banyak diakui di dunia.
Mengenai standar sertifikasi yang berbeda ditiap negara perlu dipahami sebagai perbedaan pemahaman terhadap konsepsi kehalalalan secara syar’i dan juga terdapat beberapa perbedaan kepentingan perdagangan yang melandasinya. Malaysia misalnya, walaupun standarnya tidak seketat Indonesia tapi banyak negara mengakui sistemnya karena kemampuan advokasi internasionalnya demi kepentingan perdagangan internasionalnya.
KOMITMEN PENGEMBANGAN HALAL
Selama ini komitmen pemerintah dalam pengembangan produk halal masih minim. Jika dibandingkan dengan negara lain khususnya Malaysia, Singapura dan Thailand, agroindustri halal mereka sudah menjadi bagian dari rencana pembangunan industri nasionalnya. Pada umumnya selain memandang halal sebagai langkah perlindungan terhadap konsumen muslim, negara-negara ini benar-benar menghitung potensi keuntungan bisnisnya yang dapat diraih dalam jangka panjang.

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap agroindustri halal nasional yang cenderung rendah tentunya mengakibatkan jaminan pangan halal di Indonesia cukup memprihatinkan. Hadirnya RUU Halal yang baru dari segi visinya saja hanya melindungi konsumen dalam negeri berbeda dari negara lain yang berupaya melakukan ekspansi pasar internasional termasuk pasar Indonesia yang merupakan pasar halal terbesar di dunia. Belum lagi RUU JPH yang sekarang dirumuskan cenderung bertujuan jangka pendek dengan tujuan peningkatan pendapatan melalui labelisasi halal. Ditambah lagi dengan penetepan pemerintah sebagai regulator sekaligus sertifikator. Bagaimanapun seorang wasit tidak akan pernah bisa ikut bermain.
Koordinasi kelembagaan yang ada di Indonesia (termasuk kewenangan dan anggarannya), LPPOM MUI, BPPOM, dan berbagai kementrian memang belum punya format yang efisien dan efektif untuk melayani masyarakat.  Kelembagaan menjadi sulit dikuatkan karena unsure politis yang terlalu kuat. Namun secara akademins kita dapat mengkaji bahwa, bagaimana pemerintah dapat berkoordinasi jika ”halal” masih dipahami sebagai hal tradisionals ebagai pemenuhan kebutuhan agama tertentu ketimbang dilihat sebagai patok mutu tertinggi. Pemerintah dan berbagai kalangannya juga beluam paham akan goal yang ingin dicapai, hal ini karena tidak ada satupun kebijakan yang mengarahkan pembangunan agroindustri halal indonesia. Perlunya sebuah kebijakan strategis yang mengarahkan cakupan kewenangan antarkelompok institusi yang ada yang berasama-sama memiliki keinginan untuk membangun agroindustri halal Indonesia yang mampu bersaing di pasar global, tidak semata-mata hanya menang di dalam negeri dalam rentang waktu yang pendek.


BAB III PENUTUP

Untuk menyelesaikan persoalan mengenai siapa yang sebenarnya berhak menentukan kehalalan, ada baiknya pemerintah dengan Departeman Agamanya bekerja bersama-sama dengan lembaga-lembaga Agama Islam lainnya di Indonesia. Sehingga tercipta kekompakan dan kepastian hukum dan detailnya dengan jelas.




Sumber:

Aspek Logo Halal Dalam Produk Makanan


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19



Aspek Logo Halal Dalam Produk Makanan


BAB I PENDAHULUAN

Konsumen kini disuguhi banyak pilihan produk. Salah satunya adalah produk pangan dalam kemasan. Sejumlah langkah bisa ditempuh konsumen saat mempertimbangkan untuk mengonsumsi sebuah produk dalam kemasan. Langkah itu, misalnya, dengan memperhatikan label produk kemasan. Ini untuk memastikan kelayakan produk dan status kehalalannya.

Berdasarkan peraturan yang berlaku, label halal yang dicantumkan dalam suatu produk pangan dalam kemasan harus didasarkan atas sertifikat halal. Pencantuman itu dapat dilakukan setelah produk mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia.
Harus diakui kepatuhan pengusaha soal pelabelan ini masih harus terus didorong. Data dari pemerintah, jelas dia, sebanyak 54 persen label halal tak memenuhi ketentuan. “Produk itu tak memiliki sertifikat halal dari LPPOM MUI".


BAB II  PEMBAHASAN

Sertifikasi Kehalalan
Sebagai lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan. Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halaldalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.
Syarat kehalalan produk tersebut meliputi:
1.     Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal dari babi
2.     Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan yang berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran.
3.     Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat Islam.
4.     Semua tempat penyimpanan tempat penjualan pengolahan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya harus melampirkan spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan itu bisa dari MUI daerah (produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya.
Setelah itu, tim auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan dan audit ke lokasi produsen yang bersangkutan serta penelitian dalam laboratorium yang hasilnya dievaluasi oleh rapat tenaga ahli LPPOM MUI yang terdiri dari ahli gizi, biokimia, pangan, teknologi pangan, teknik pemrosesan, dan bidang lain yang berkait. Bila memenuhi persyaratan, laporan akan diajukan kepada sidang Komisi Fatwa MUI untuk memutuskan kehalalan produk tersebut.
Tidak semua laporan yang diberikan LPPOM MUI langsung disepakati oleh Komisi Fatwa MUI. Terkadang, terjadi penolakan karena dianggap belum memenuhi persyaratan. Dalam kerjanya bisa dianalogikan bahwa LPPOM MUI adalah jaksa yang membawa kasus ke pengadilan dan MUI adalah hakim yang memutuskan keputusan hukumnya.
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, sedangkan untuk daging yang diekspor sertifikat diberikan pada setiap pengapalan. Dalam rentang waktu tersebut, produsen harus bisa menjamin kehalalan produknya. Proses penjaminannya dengan cara pengangkatan Auditor Halal Internal untuk memeriksa dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) di dalam perusahaan. Auditor Halal tersebut disyaratkan harus beragama Islam dan berasal dari bagian terkait dengan produksi halal. Hasil audit oleh auditor ini dilaporkan kepada LPPOM MUI secara periodik (enam bulan sekali) dan bila diperlukan LPPOM MUI melakukan inspeksi mendadak dengan membawa surat tugas.


BAB III PENUTUP

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam, jaminan kehalalan dalam suatu produk sangatlah penting. Oleh karena itu, sudah semestinya jika Pemerintah memberikan naungan hukum bagi konsumen agar produk-produk yang dikonsumsi terjamin kehalalannya.



Sumber:



ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19






ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT


Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.





Azas dan Tujuan

Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha
kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.





Kegiatan yang dilarang

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pel aku us aha pa tut diduga a t au di anggap me l akukan pengua s a an a t a s
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.

(3) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.

(4) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud diatas apabila
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

(5) Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Dan lain-lain


Perjanjian yang dilarang

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana
dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

(5) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.

Dan lain-lain




Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli

Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah26 UNDANG-UNDANG NOMOR .5 TAHUN 1999
daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya .







Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.





Sanksi

(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(2) Tindakan administratif.



(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana / denda.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancamUNDANG-UNDANG NOMOR .5 TAHUN 1999 25 pidana / denda.

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana /denda.

(6) Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana
tambahan.





Sumber:



http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pengawas_Persaingan_Usaha


http://www.kppu.go.id

http://www.kppu.go.id/docs/UU/UU_No.5.pdf

PERLINDUNGAN KONSUMEN


Nama: Anggi Agustiani S.
NPM: 20210814
Kelas: 2EB19



PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pengertian Konsumen
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”


Azas dan Tujuan
Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1.                  Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.                  Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3.                  Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4.                 Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.                  Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum



Adapun hak konsumen diatur didalam Pasal 4 UU PK, yakni:
1.                  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tujuan utama konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa adalah memperoleh manfaat dari barang/jasa yang dikonsumsinya tersebut. Perolehan manfaat tersebut tidak boleh mengancam keselamatan, jiwa dan harta benda konsumen, serta harus menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.                  Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Tentu saja konsumen tidak mau mengkonsumsi barang/jasa yang dapat mengancam keselamatan, jiwa dan hartanya. Untuk itu konsumen harus diberi bebas dalam memilih barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Kebebasan memilih ini berarti tidak ada unsur paksaan atau tipu daya dari pelaku usaha agar konsumen memilih barang/jasanya.
3.                  Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebelum memilih, konsumen tentu harus memperoleh informasi yang benar mengenai barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Karena informasi inilah yang akan menjadi landasan bagi konsumen dalam memilih. Untuk itu sangat diharapkan agar pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang/jasanya.
4.                 Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Tidak jarang konsumen memperoleh kerugian dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Ini berarti ada suatu kelemahan di barang/jasa yang diproduksi/disediakan oleh pelaku usaha. Sangat diharapkan agar pelaku usaha berlapang dada dalam menerima setiap pendapat dan keluhan dari konsumen. Di sisi yang lain pelaku usaha juga diuntungkan karena dengan adanya berbagai pendapat dan keluhan, pelaku usaha memperoleh masukan untuk meningkatkan daya saingnya.
  1. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pelaku usaha tentu sangat memahami mengenai barang/jasanya. Sedangkan di sisi yang lain, konsumen sama sekali tidak memahami apa saja proses yang dilakukan oleh pelaku usaha guna menyediakan barang/jasa yang dikonsumsinya. Sehingga posisi konsumen lebih lemah dibanding pelaku usaha. Oleh karena itu diperlukan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa yang patut bagi konsumen. Patut berarti tidak memihak kepada salah satu pihak dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
6.                  Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa posisi konsumen lebih lemah dibanding posisi pelaku usaha. Untuk itu pelaku usaha harus memberikan pembinaan dan pendidikan yang baik dan benar kepada konsumen. Pembinaan dan pendidikan tersebut mengenai bagaimana cara mengkonsumsi yang bermanfaat bagi konsumen, bukannya berupaya untuk mengeksploitasi konsumen.
7.                  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Sudah merupakan hak asasi manusia untuk diperlakukan sama. Pelaku usaha harus memberikan pelayanan yang sama kepada semua konsumennya, tanpa memandang perbedaan idiologi, agama, suku, kekayaan, maupun status sosial. Lalu bagaimana dengan perbedaan kelas bisnis dan ekonomi pada maskapai penerbangan? Atau adanya nasabah prioritas pada bank? Apakah ini merupakan bentuk diskriminasi karena kekayaan? Menurut saya hal ini bukan diskriminasi. Adanya kelas bisnis atau nasabah prioritas didasarkan pada hubungan kontraktual. Sebelumnya sudah ada perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha. Kalau bayar sedikit, fasilitasnya seperti ini, kalau nambah uang, fasilitasnya ditambah.
8.                  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Inilah inti dari hukum perlindungan konsumen. Bagaimana konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi barang/jasa memperoleh kompensasi, ganti rugi, atau penggantian. Sebenarnya tujuan dari pemberian kompensasi, ganti rugi, atau penggantian adalah untuk mengembalikan keadaan konsumen ke keadaan semula, seolah-olah peristiwa yang merugikan konsumen itu tidak terjadi.
9.                  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Hak konsumen sebenarnya sangat banyak dan bisa terus bertambah. Adanya ketentuan ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak konsumen yang tidak diatur pada ketentuan diatas.


Ada hak tentu ada kewajiban. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UU PK adalah:
1.                  Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali konsumen tidak memperoleh manfaat yang maksimal, atau bahkan dirugikan dari mengkonsumsi suatu barang/jasa. Namun setelah diselidiki, kerugian tersebut terjadi karena konsumen tidak mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.
2.                  Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa Tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan khalayak umum, dan secara tidak langsung si konsumen telah merampas hak-hak orang lain.
3.                  Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Ketentuan ini sudah jelas, ada uang, ada barang.
4.                 Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.




Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.                  hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.                  hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.                  hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.                 hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.                  hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.                  beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.                  memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.                  memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.                 menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.                  memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.                  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.                  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.




Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.                  tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.                  tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.                  tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.                  tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.                  tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.                   tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.                  tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.                  tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i.                    tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.                    tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.


Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1.     Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2.     Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3.     Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4.     Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5.     Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6.     Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7.     Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8.     Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;





Sumber: