Pengertian Konsumen
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen,
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Azas dan Tujuan
Asas-asas
yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 UU PK
adalah:
1.
Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.
Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak
dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen
dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara
seimbang.
3.
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK
akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum
Adapun hak konsumen
diatur didalam Pasal 4 UU PK,
yakni:
1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tujuan utama konsumen dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa adalah memperoleh manfaat dari barang/jasa
yang dikonsumsinya tersebut. Perolehan manfaat tersebut tidak boleh mengancam
keselamatan, jiwa dan harta benda konsumen, serta harus menjamin kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan. Tentu saja konsumen tidak mau
mengkonsumsi barang/jasa yang dapat mengancam keselamatan, jiwa dan hartanya.
Untuk itu konsumen harus diberi bebas dalam memilih barang/jasa yang akan
dikonsumsinya. Kebebasan memilih ini berarti tidak ada unsur paksaan atau tipu
daya dari pelaku usaha agar konsumen memilih barang/jasanya.
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebelum memilih,
konsumen tentu harus memperoleh informasi yang benar mengenai barang/jasa yang
akan dikonsumsinya. Karena informasi inilah yang akan menjadi landasan bagi
konsumen dalam memilih. Untuk itu sangat diharapkan agar pelaku usaha
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang/jasanya.
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan. Tidak jarang konsumen memperoleh
kerugian dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Ini berarti ada suatu kelemahan
di barang/jasa yang diproduksi/disediakan oleh pelaku usaha. Sangat diharapkan
agar pelaku usaha berlapang dada dalam menerima setiap pendapat dan keluhan
dari konsumen. Di sisi yang lain pelaku usaha juga diuntungkan karena dengan
adanya berbagai pendapat dan keluhan, pelaku usaha memperoleh masukan untuk
meningkatkan daya saingnya.
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pelaku usaha tentu sangat
memahami mengenai barang/jasanya. Sedangkan di sisi yang lain, konsumen
sama sekali tidak memahami apa saja proses yang dilakukan oleh pelaku
usaha guna menyediakan barang/jasa yang dikonsumsinya. Sehingga posisi
konsumen lebih lemah dibanding pelaku usaha. Oleh karena itu diperlukan
advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa yang patut bagi
konsumen. Patut berarti tidak memihak kepada salah satu pihak dan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Sudah disebutkan
sebelumnya bahwa posisi konsumen lebih lemah dibanding posisi pelaku usaha.
Untuk itu pelaku usaha harus memberikan pembinaan dan pendidikan yang baik dan
benar kepada konsumen. Pembinaan dan pendidikan tersebut mengenai bagaimana
cara mengkonsumsi yang bermanfaat bagi konsumen, bukannya berupaya untuk
mengeksploitasi konsumen.
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif. Sudah merupakan hak asasi manusia
untuk diperlakukan sama. Pelaku usaha harus memberikan pelayanan yang sama
kepada semua konsumennya, tanpa memandang perbedaan idiologi, agama, suku,
kekayaan, maupun status sosial. Lalu bagaimana dengan perbedaan kelas bisnis
dan ekonomi pada maskapai penerbangan? Atau adanya nasabah prioritas pada bank?
Apakah ini merupakan bentuk diskriminasi karena kekayaan? Menurut saya hal ini
bukan diskriminasi. Adanya kelas bisnis atau nasabah prioritas didasarkan pada
hubungan kontraktual. Sebelumnya sudah ada perjanjian antara konsumen dan
pelaku usaha. Kalau bayar sedikit, fasilitasnya seperti ini, kalau nambah uang,
fasilitasnya ditambah.
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Inilah inti dari hukum perlindungan
konsumen. Bagaimana konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi barang/jasa
memperoleh kompensasi, ganti rugi, atau penggantian. Sebenarnya tujuan dari
pemberian kompensasi, ganti rugi, atau penggantian adalah untuk mengembalikan
keadaan konsumen ke keadaan semula, seolah-olah peristiwa yang merugikan
konsumen itu tidak terjadi.
9.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya. Hak
konsumen sebenarnya sangat banyak dan bisa terus bertambah. Adanya ketentuan
ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak konsumen yang
tidak diatur pada ketentuan diatas.
Ada hak tentu ada
kewajiban. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UU PK adalah:
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Tidak bisa dipungkiri
bahwa seringkali konsumen tidak memperoleh manfaat yang maksimal, atau bahkan
dirugikan dari mengkonsumsi suatu barang/jasa. Namun setelah diselidiki,
kerugian tersebut terjadi karena konsumen tidak mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa Tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam
bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan
khalayak umum, dan secara tidak langsung si konsumen telah merampas hak-hak
orang lain.
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Ketentuan ini sudah
jelas, ada uang, ada barang.
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Seperti halnya
konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
3.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban
pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Ada 10 larangan bagi
pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha
diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan
minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap
daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib
memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2)
dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha
dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha
dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
Ketentuan terakhir dari
pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan
barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Undang-Undang No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha,
apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1.
Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2.
Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3.
Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang
atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4.
Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli konsumen;
6.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7.
Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau
lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8.
Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
Sumber: